Seperti banyak warga Amerika Serikat (AS) lainnya, Molly Carlson
dilahirkan dalam keluarga Nasrani. Ia tidak pernah mengenal Islam hingga
suatu saat ia membaca sebuah novel berjudul King of the Wind.
Dari buku fiksi karya Marguerite Henry itu, Molly kecil terkesan dengan
Islam. Berbeda dengan doa-doa, pelayanan, dan salib di dadanya yang
selama ini tak menyentuh hatinya.
“Saya tidak ingat berapa umur saya ketika membaca buku itu, tapi saya
ingat betul satu adegan di buku itu yang membuat saya mengenal Islam dan
mempertanyakan identitas saya sebagai Katolik,” kenang Molly yang tidak
bisa melupakan adegan puasa Ramadhan dalam buku yang menceritakan
tentang seorang anak laki-laki dari Maroko dan kudanya itu.
“Entah mengapa setelah membaca kisah tersebut, hati saya tiba-tiba
tergerak,” kata Molly. Setelah itu, ia mulai mencari tahu tentang Islam,
meskipun belum sepenuhnya memahami mengingat faktor usianya yang masih
kecil.
Kenangan Molly semakin berkesan dengan hadirnya mimpi-mimpi yang
menuntunnya. “Pada usia 12 tahun saya mendapatkan mimpi misterius yang
tidak benar-benar saya mengerti. Tidak menakutkan, namun mimpi itu
seperti merefleksi hati saya ketika itu,” ujarnya.
Dalam mimpi itu, Molly berdiri di sebuah ruangan kotak yang diterangi
sebuah lentera. Dindingnya terbuat dari kayu dan lantainya berlapis
karpet berpola. Ruangan itu terbagi menjadi dua oleh sebuah pembatas.
Satu ruangan ditempati oleh para perempuan berhijab dan ruangan lainnya,
tempat Molly berada, dipenuhi oleh laki-laki. Meskipun mimpi, tiba-tiba
Molly tersadar dan merasa bersalah karena seharusnya ia berada di
ruangan perempuan berhijab, bukan di ruangan laki-laki.
Beberapa tahun berikutnya Molly bermimpi yang tidak kalah berkesan. Ia
melihat seorang perempuan berdiri di sebelahnya. Perempuan itu
menggunakan hijab hitam menutupi seluruh tubuhnya dari kepala hingga
ujung kaki.
Semula Molly merasa takut melihat sosok tersebut, namun kemudian ia
memberanikan diri untuk mendekat. Ia terkejut ketika melihat mata
perempuan tersebut lebih seksama. Itu adalah dirinya!
“Saya bisa tahu dari mata itu. Itu mata saya. Kami seperti cermin.
Sejenak saya berpikir bahwa mimpi tersebut adalah masa depan saya
kelak,” ujarnya.
Eksplorasi Molly terus berlangsung. Hingga setelah peristiwa 9/11, ia
merasakan bagaimana kepedihan diskriminasi yang dialami oleh seorang
Muslim. Ketika itu ia berusia 18 tahun, semester pertama di perguruan
tinggi.
Peristiwa 9/11 telah menimbulkan kebencian kepada Muslim, tetapi Molly
tidak terpengaruh. “Saya tidak tega melihat teman saya diperlakukan
tidak baik pasca kejadian tersebut. Saya sudah mengenal mereka sejak
lama. Mereka orang yang sangat baik. Bukan teroris ataupun ekstremis,”
ujarnya.
Ia bahkan ingin merasakan apa yang dialami oleh seorang Muslim akibat
peristiwa itu. Karenanya ia meminjam hijab milik temannya dan datang ke
kampus dengan penampilan serba tertutup.
“Kenyataannya saya benar-benar diperlakukan secara berbeda. Perlakukan yang keras bahkan membuat saya menangis,” ujarnya.
Perlakukan itu tak menyurutkan langkahnya untuk memeluk Islam. Pada 2005, ketika usinya 22 tahun, Molly mengikrarkan syahadat.
“Saya masih ingat betul perasaan saya saat itu. Saya merasakan tangan
Tuhan merangkul saya dan mencabut dosa saya serta membuat saya menjadi
orang yang baru,” katanya.
Sejak saat itu, Molly tidak pernah melihat ke belakang. Sejak saat itu
ia merasakan kebahagiaan dan kedamaian sejati. “Saya menemukan lebih
banyak arti dan kesenangan dalam hidup saya setelah menjadi muslim,”
pungkasnya. [AM/Rpb]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar